Saya tidak tahu rasanya dipenjara. Yang saya tahu adalah bagaimana internet, email dan milis telah jadi sahabat saat berkeluh kesah tentang banyak hal. Yang saya tahu adalah bagaimana beratnya persiapan sebelum meninggalkan Senja untuk waktu yang panjang.
Dan Ibu Prita sekarang merasakan semuanya. Sialnya, dia bahkan tidak sempat mengucap salam perpisahan -- atau sampai jumpa lagi -- kepada kedua anaknya. Sialnya, email itu sebetulnya hanya dikirim ke 10 temannya, bukan ke milis.
Semalam saya mencoba membayangkan diri saya sebagai Ibu Prita. Malam, saya lihat Senja tidur nyenyak betul, meski ada 4 nyamuk hinggap di pipi dan tangannya. Saya lihat Hilman masih sibuk di depan laptop, mindah-mindahin foto sembari sesekali melongok Facebooknya. Sementara saya sibuk memencet tombol remote TV, berharap ada hiburan yang menyenangkan di sana sebelum tidur. Ibu Prita lagi ngapain ya malam ini?
Tadi pagi, bangun tidur saya langsung dikeplak Senja yang minta saya segera bangun juga. Lalu saya teringat Ibu Prita. Dia lagi ngapain ya sekarang? Bagaimana rasanya tidur kemudian bangun pagi di penjara? Saya lantas memberi susu kedelai buat Senja, mengajak main sebentar lantas menghangatkan makanan untuk sarapan Senja. Setelah itu saya minta Senja untuk membangunkan Hilman yang masih lelap. Mungkin itu juga yang biasanya dilakukan Ibu Prita di pagi hari bersama anak-anak dan suaminya.
Sebelum berangkat, saya menonton di TV, gambar Ibu Prita dengan kerudung polkadot dan baju warna merah. Dia menangis. Berbicara sebentar, meminta maaf, lantas menangis. Saya rasanya ingin cepat-cepat mematikan TV, memeluk Senja sembari bersyukur saya tidak ada di posisi dia. Tapi tidak adil juga kalau begitu rasanya. Saya yakin dia ingin melakukan yang sama, memeluk anak-anaknya.
Lalu saya berangkat ke kantor dengan ojek. Biasanya Ibu Prita ke kantor naik apa ya? Dia kan perempuan bekerja juga, bekerja di sebuah bank kalau tidak salah ingat. Saya tidak tahu rumahnya di mana, mungkin di Tangerang, tak jauh dari RS Omni Internasional Tangerang; institusi yang menyebabkan hidup Ibu Prita berubah drastis. Mungkin Ibu Prita harus merasakan macet untuk sampai ke kantornya.
Dan sekarang saya sedang di kantor, berhadapan dengan laptop. TV di sebelah kiri saya menampilkan Manohara, lantas Prita. Buat TV rupanya Manohara masih berita pertama, padahal ini sudah hari ketiga setelah ia pulang ke Jakarta. Kemudian saya membuka Facebook. Dukungan terhadap pembebasan Ibu Prita di Facebook telah meruap begitu besar. Begitu juga penolakan terhadap RS Omni Internasional Tangerang. Bagaimana ya perasaan Ibu Prita sekarang?
Yang paling sial adalah kenyataan bahwa UU ITE, yang dipakai untuk menjerat Ibu Prita, sudah masuk ke Mahkamah Konstitusi. Sudah di-judicial review, dan pasal yang memenjarakan Prita tetap bertahan di UU tersebut. Dan kalau sudah sampai di MK, maka putusan sudah final, tidak bisa diutak-utik lagi. Pintu mana yang masih terbuka? Kabarnya DPR bisa merevisi pasal di UU tersebut. Tapi hello, kantor mereka saja seringkali kosong, bagaimana bisa berharap mereka bakal merapatkan barisan dan merevisi pasal tersebut. ’Itu pun kalau DPR mau revisi,’ ujar Heru Hendratmoko, bos saya, bekas Ketua AJI sebelum dijabat Nezar Patria sekarang.
’Saya cuma ingin pulang,’ begitu judul headline Kompas hari ini soal Ibu Prita.
16 jam sudah berlalu sejak saya mencoba membayangkan diri saya sebagai Ibu Prita. Dan saya tetap tidak bisa membayangkan saya menjadi dia.
No comments:
Post a Comment