Suatu ketika di sebuah milis yang membahas MPASI. Ada seorang emak yang nyari sosis, tapi yang aman buat balita. Kalau pake sosis ala supermarket pastilah ngeri pengawetnya. Nah, adakah sosis yang aman?
Tersebutlah seseorang yang lantas menawarkan temannya, seorang pembuat sosis rumahan. Dia cantumkan email dari si pembuat sosis, berisi diskon 5% bagi penghuni milis. Ndilalah, without being racist, yang bikin sosis adalah seorang Tionghoa.
Perbincangan di milis lantas bergeser ke soal halal haram. 'Sosisnya haram atau enggak ya?' Sudah dijawab, tidak, karena tidak pakai babi. 'Ada sertifikat halal dari MUI kah?' Dijawab belum, karena belum diurus sama si pembuat sosis. Ribet, katanya. Lalu ada emak yang menyebut,'Saya nggak percaya kalo yang bilang halal itu non-muslim.'
Suasana tambah chaos. 'Mungkin si non-muslim pembuat sosis itu gatau kalo yang haram itu bukan sekadar babi-nya, tapi juga alat masak yang pernah dipake buat masak babi.' Emangnya gak kenal teknologi cuci piring apa ya?
Situasi makin tak terkendali. 'Di kulkas, disimpennya sebelahan gak ya sama babi? Ntar kena cairan dari si babi ini.' Emangnya gak kenal teknologi wadah atau plastik pembungkus makanan apa ya?
Waduh. Ribet banget. Untungnya gw bukan die-hard soal kayak ginian.
Untungnya lagi, gw gak percaya sama lembaga MUI. Lah wong MUI ngeluarin fatwa haram buat Ahmadiyah, padahal ini kan bentuk pelanggaran HAM. Lah wong MUI setengah hati ngeluarin fatwa haram soal rokok, padahal ini semata-mata melindungi bisnis rokok yang marak di Kudus. Lah wong TII bikin survei yang hasilnya MUI rawan suap di soal pengurusan sertikat halal.
Yang terakhir ini bikin gw ngakak sampe guling-guling. Ngurusin sertifikat halal kok pake cara haram.
Fatwa MUI itu sama sekali nggak punya kekuatan hukum. Hidup gw gak akan berhenti kalo tidak menuruti fatwa MUI. Jadi, cuekin aja.
Mari kita beli itu sosis.
1 comment:
padahal si pembuat sosis yang tionghoa itu kan belum tentu non muslim ya...
gita
Post a Comment