‘Bu, suami saya udah setuju untuk cerai.’
Gw lupa kapan itu dikatakan sama Mbak Ika. Mungkin 1-1,5 bulan sebelum dia akhirnya pulang ke Ponorogo, pada 22 Mei lalu. Dalam hati gw langsung setujui permintaan dia untuk pulang. Karena dia pulang untuk bercerai dari laki-laki yang adalah suaminya, yang adalah pelaku KDRT.
Dia gundah ketika saat-saatnya tiba mau pulang. Dia pernah cerita, setiap hari ngeliatin kalender di HP, setiap kali pula degdegan karena dia betulan akan pulang. Tentu dia kangen sama anaknya, Imelda (‘Adel’, kalo kata Senja), 3 tahun. Tapi dia takut ketemu sama suaminya. Dia bilang, kalo ada suaminya, dia selalu jadi perempuan penurut, gak berani ngelawan. Dia takut dia bakal berubah pikiran, menjadi tidak bercerai. Gw menguatkan dia. Gw bilang ke dia, gak ada gunanya bertahan dengan suami yang KDRT. Pesan moralnya, perempuan gak boleh mau jadi korban.
Dia sempat merasa bersalah karena pulang pas di rumah justru lagi ada acara ngumpul bareng. ‘Yah, saya jadinya gak bisa bantuin.’ Gapapa tenang saja, kata gw ke dia. Dalam hati, yang penting kamu bercerailah dengan suami laknatmu. Laki-laki yang memukul, menampar, menyeret tak lama setelah istrinya melahirkan, sungguh tak pantas dibela.
Dia juga sengaja agak menjauh sama Senja beberapa minggu sebelum pulang. Dia memilih menyerahkan Senja ke Ibu untuk tidur siang. Kalo ada apa-apa diserahin ke si Ibu. ‘Supaya Senja gak terlalu nyariin kalau saya pulang,’ kata dia. Ah betul. Alasan yang baik. Dia juga tipe pengasuh yang tidak mendominasi Senja. Dia tau, karena gw kerja Senin-Jumat, maka Sabtu-Minggu gw mau bareng Senja. Dia juga yang mengajarkan ke Senja,’Kan Ibun liburnya Sabtu-Minggu, jadi sekarang Senja gapapa sama Ibu Ika.’
Alasan lain yang membuat gw setuju rencana kepulangan dia adalah Imelda. Anaknya. Dia udah setahun lebih gak ketemu anaknya. Itu memang mestinya bukan urusan gw. Tapi anaknya seumuran Senja. Gw mengerti kira-kira gimana perasaan dia.
Jelang pulang, dia beberapa kali menyampaikan kegundahannya. Tapi di sisi lain, gw tau dia udah janji pulang sama anaknya. Janji sama anak kecil jangan sampai gak ditepati, gitu pikir gw. Jadi ya sudah. Rencana pulang jalan terus.
***
Ika sebetulnya bukan kandidat pertama ketika gw-Hil mencari pengasuh buat Senja. Alasan pemilihan Yayasan Zr Nunuk sebagai tempat mencari pun hanya satu: lokasinya dekat. Dengan begitu, kalau ada apa-apa, kalau harus antar-jemput, deket. Ika adalah pilihan kedua, setelah kandidat pertama jeprut dan gak terlihat meyakinkan.
Gw ingat, ketika itu gw yakin memilih Ika karena sorot matanya. Sungguh alasan yang aneh untuk keputusan memilih seorang nanny, pengasuh untuk Senja.
5 bulan di Pondok Bambu, dia membuktikan diri sebagai seseorang yang sangat rajin dan cepat belajar. Dia gak keberatan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lain. Kata dia,’Saya digaji 30 ribu sehari sama Ibu, kalo gak ngapa-ngapain rasanya kok gimana gitu.’ Kalo gw yang digaji 30 ribu sehari, mungkin gw gak akan serajin dia. Pas bandrol aja. Tapi dia gak gitu. Dia berbagi kerjaan nyetrika sama si Ibu, nyapu kebon, masakin sarapan buat kita semua, dan lainnya. Karenanya dia juga ketiban kerjaan ajaib: nyatetin buku-DVD koleksi gw-Hil, juga obat-obatan nyokap. Tulisannya bagus, dia gampang memahami instruksi. Maklum, lulusan SMA. ‘Otak saya alhamdulillah gak bodoh-bodoh amat, Bu,’ kata dia suatu waktu.
***
Suatu malam gw dapat SMS. Dari Mbak Ika. Dia pingin curhat. Secara spesifik dia minta supaya gw gak bilang ke Hil.
Lantas gw ke dapur, kami berbincang di dapur luar, di depan kamarnya. Dia bercerita panjang lebar soal hidupnya. Soal bapaknya yang supir truk. Ibunya yang TKI di Malaysia, sempat jadi korban penganiayaan majikan di sana. Tentang majikan Ika sebelumnya di PIK yang kejam. Tentang anaknya. Tentang SMA-nya.
Juga tentang suaminya.
Mereka pacaran sejak lama, ketika masih SMA. ‘Dulu keluarga saya Alhamdulillah kecukupan, tapi usaha Bapak bangkrut.’ Cerita klise pengusaha kecil. Ika sempat terancam putus sekolah. Lantas datanglah tangan ajaib: keluarga si pacar. Mereka bersedia bayarin uang sekolah Ika. Lulus.
Lantas mereka menikah.
Langsung hamil. Kekerasan suaminya mulai terasa. Memukul. Menampar. ‘Kalo plak-plak tampar bolak balik aja sih biasa. Saya sampai ditampar, lalu diseret. Mbah saya pernah liat.’ Ketika itu juga gw bilang: ‘Kalo saya jadi Mbak, saya tinggalin saat itu juga.’
Tapi tentu saja gw bukan Ika, dan Ika bukan gw.
Dia memilih mempertahankan rumah tangganya. Kekerasan suami menjadi. Gak dikasih uang belanja, sementara anaknya sudah lahir. Anak lahir, malam-malam suami tak pernah di rumah. ‘Kalau ditelfon, di sebelahnya ada suara perempuan.’ Dia tetap bertahan. Dia berharap suaminya berubah. Gw bilang ke dia, kalau laki-laki pelaku KDRT biasanya manis kelakuannya setelah berlaku kasar. Dia setuju. Suaminya juga begitu.
Sampai akhirnya dia memilih untuk bekerja di Jakarta. Bergabung ke sebuah yayasan PRT, yang suplainya memang dari wilayah Ponorogo. Tapi untuk bergabung ke sana, dia harus mengisi formulir, lengkap dengan tandatangan suami. Luar biasa diskriminatifnya dunia pekerjaan; kenapa pula istri bekerja harus ada tandatangan persetujuan dari suami? Lalu dia meminta tandatangan suami. Suami menolak. Lantas Ika mengancam,’Kalo nggak, kita cerai.’ Suami akhirnya tandatangan, dengan kompensasi pernikahan mereka bertahan.
Ika tiba di Jakarta, Februari 2008.
***
Sepanjang gw dibesarkan di Pondok Bambu, maka gw hanya mengenal 1 PRT, yaitu si Ibu. Karenanya kehadiran Ika adalah suatu lompatan besar buat gw. Memasukkan orang baru ke rumah, memasrahkan Senja ke dia, mempercayakan seisi rumah gw kepada orang yang sama sekali asing.
Gw meniru nyokap gw ketika memperlakukan PRT. Gw berusaha memperlakukan dia adil, memperlakukan dia sebagai manusia. Karena gw ingin investasi rasa kepercayaan ke dia. Ketika masih sebulan bekerja di sini, setiap Jumat gw bikin pertemuan tripartit: gw-Hil-Mbak Ika. Gw menanyakan kesulitan dia bekerja, mencari masukan dari dia. Tujuannya supaya kita bisa menciptakan suasana kerja yang baik. Kalau suasananya baik, mudah-mudahan dia juga memperlakukan Senja dengan baik.
Ika jadi pengasuh yang top buat Senja. Dia mau repot, dia kreatif dalam ngajarin banyak hal, gambarnya bagus, walaupun nyanyinya fals, hehe. Hobi dia ber-HP sudah dibatasi dengan peraturan ketat: tidak boleh pegang HP selama pegang Senja. Rasanya itu satu-satunya aturan yang kita tetapkan ke dia. Nonton TV boleh aja, tapi Senja juga bukan tipe suka nonton TV. Main di kebon, tentu boleh, asal pakai lotion anti nyamuk. Senja emang gak main ke luar pagar, tapi itu lebih karena gw aja yang kuper gak kenal lingkungan sekitar.
Sabtu-Minggu, dia suka mati gaya. Senja maunya sama gw, sementara dia gak ada kerjaan. Sejak itu dia dapat tugas-tugas dadakan. Nyatetin buku, cuciin sepatu, bersihin kamar mandi, rapiin lemari dapur, bersihin lemari barang, dan sebagainya. Kalo gw-Hil-Senja keluar rumah di akhir pekan, maka dia punya sederet tugas untuk dilakukan. Dan dia melakukanannya dengan baik.
Dia juga sangat supel. Dibawa ke Bintaro, langsung bisa ngobrol akrab sama Mbak Wanti. Diajak ke Rawamangun, langsung bisa ngobrol sama Mbak di sana. Dibawa ke Kayu Manis, langsung ngebakso dan tukeran lagu di HP sama keponakannya Hil.
Dia sangat update dengan informasi. Dia sempat punya satu nomor khusus untuk internetan, ‘Buat Facebook-an.’ Gw kontan melongo. Dia juga tau rame-rame bintang jatuh waktu itu. Dia bahkan pernah bangun tengah malam untuk nungguin itu bintang jatuh. Gw kasih 2 buku karangan Tatah supaya dia punya perspektif baru ketika bertemu dengan Ikhsan, buku itu langsung dibalikin ke gw gak sampai seminggu kemudian. ‘Udah selesai dibaca. Saya jadi kagum sama Eyang Tatah. Saya kirain hidup saya paling sengsara… ’ Dia juga yang minta bahan bacaan ke gw soal pengasuhan anak. Dia yang menawarkan diri untuk baca buku panduan gw What To Expect. Untungnya buku yang gw punya emang versi terjemahannya, jadi dia bisa baca. Dan dia betulan baca itu buku.
Ketika SMI mundur dan foto di dalam lift itu muncul di Kompas, dia tau apa isunya. Saat si Ibu sekadar bertanya,’Ini kenapa Sri Mulyani?’, maka si Mbak Ika sudah bisa menyahut,’Kan gak jadi Menteri Keuangan lagi, pindah ke Bank Dunia.’ Kontan melongo lagi.
Penilaian itu tidak pupus meski dia gak balik lagi ke Pondok Bambu.
***
22 Mei 2010. Gw tanya ke Senja,’Senja mau dadah Ibu Ika di rumah atau nganterin ke tempat bis?’ Senja pilih yang kedua. Jadilah gw pesan taksi, demi mengantar Mbak Ika ke Terminal Rawamangun bareng Senja.
Itu kali pertama dia naik bis sendirian ke Ponorogo. Ketika datang ke Jakarta, dia bareng orang Yayasan, jadi tinggal ngikut aja. Dia sempat ragu, berani atau enggak pulang sendiri. Tapi ya gak ada pilihan lain toh.
Sebelum dia naik ke bus, gw beli lapis Surabaya yang dijual di Terminal. ‘Buat tambah-tambah suguhan di rumah.’
Gw dan Senja menghantar Mbak Ika pulang di Terminal Rawamangun.
***
‘Dace, dia gak bales SMS semalam.’
‘Dace, hari ini dia gak balas SMS lagi.’
Gw selalu lapor ke Hil tiap kali kirim SMS ke Mbak Ika. Dan seketika Hil langsung berupaya menenangkan gw. ‘Tenang aja Boncai, dia pasti balik,’ atau ‘Hush udah gak usah dipikirin. Tunggu aja sampai Minggu.’
Satu-satunya SMS yang dibalas adalah SMS yang gw kirim Senin malam. Dia bilang, lagi pijat karena badan sakit semua. Sehari sebelumnya, Minggu pagi, gw telfon dia, memastikan dia sampai di rumah dengan selamat. Suaranya bahagia. ‘Melda gendut banget!’ cerita dia soal anaknya.
Begitu tiba di Ponorogo, dia langsung beli nomor baru. Gw duga, itu demi menghindar ditelfon orang Yayasan. Dia ngasih tau gw nomor barunya. Sebelum dia pulang, gw juga tanya ke dia nomor HP bapaknya. Buat jaga-jaga.
Di hari Jumat, sehari sebelum tanggal dia seharusnya balik ke Jakarta, pagi-pagi gw kirim SMS ke dia. Gak ada balasan. Siangnya, gw bilang ke Hil,’I give you all the luxury to call her.’ Hil yang telfon. Ke nomor lama, gak diangkat. Ke nomor baru gak diangkat. Coba lagi, setelah lama baru diangkat. Di situ dia bilang ke Hil: ‘Gak boleh balik ke Jakarta sama bapaknya, ini masih terus dibujukin.’
Bapaknya? Kok gw gak yakin.
***
Seharian ini gw gundah gulana banget. Mungkin gw sinting, secara yang menghilang adalah seorang pengasuh.
Sejauh ini Senja belum nanyain Mbak Ika. Gw gatau mana yang lebih baik: nunggu Senja nanyain atau langsung bilang ke Senja. Tapi Senja tau persis Mbak Ika ke mana. Kalau ditanya ‘Mbak Ika ke mana?’ maka Senja menjawab,’Ke Ponorojo, ketemu Imelda.’ Sekarang Senja udah bisa bilang Imelda. Dulu, entah dapat ide dari mana, menyebutnya Adel.
Gw gatau mana yang lebih bikin gw galau: kehilangan pengasuh yang oke atau keputusan dia untuk bertahan dengan suaminya yang pelaku KDRT.
Kata dia di SMS,’Daripada pekerjaan, saya pilih keluarga.’
Itu tentu bukan keputusan yang salah. Tapi bertahan dengan suami yang KDRT?
Dia bolak balik minta maaf di SMS. ‘Saya tau ibuk pasti kecewa’, gitu dia tulis.
Somehow, gw berharap besar sekali sama dia. Gw yakin dia jadi pengasuh yang baik untuk Senja. Gw bahkan sudah membayangkan dia yang akan nganterin Senja ke TK pakai sepedanya Hil kelak. Dia lulusan SMA, bisa gw kasih instruksi macam-macam. Gw bisa membayangkan dia kelak dagang kecil-kecilan, mengingat dia getol banget kerja keras. Dan gw membayangkan, gw bakal ngasih ruang itu ke dia. Supaya hidupnya juga gak berhenti jadi pengasuh atau PRT.
Tapi ya sudah.
‘Semoga itu keputusan terbaik untuk semua, terutama untuk Mbak Ika dan Imelda. Terima kasih banyak.’
‘Iya buk. Saya minta maaf dan terima kasih atas kebaikan semua.’
Dan gw tetap galau. Seperti melihat orang melakukan kesalahan, sudah berupaya mencegah tapi gak bisa berbuat banyak. Karena itu hidup dia, bukan hidup gw.
Mudah-mudahan dia gak jadi korban KDRT lagi.
1 comment:
Amin....
Jadi teringat satu pengasuh Maple yg sempet bolak balik sms atau lisan bilang "maaf bu lancang dsbnya'.
Sungguh manis tingkah lakunya.
Cara mengasuh Maple juga mengena hati anak gw.
Tapi berujung dengan banyak dusta,skenario yg lumayan sukses dia ciptakan.
Teringat juga dengan pengasuh lainnya yang memilih keluar dari pekerjaan demi sang lelaki yang rajin melakukan KDRT,meminta jatah dari gajinya,menghamilinya bolak balik dan memintanya absorsi beberapa kali juga, lalu siap dinikah siri karena sang lelaki baru dapat warisan. Cinta, alasannya.
Dan semua itu terjadi ketika gw mulai merancang untuk menyekolahkan lagi atau kursus, membelikan baju lebaran untuk adik2nya di kampung dan membuka rekening tabungan.
Hidup soal pilihan
dan mereka membuat pilihan sendiri
Kita sudah berusaha.
Jangan menyerah untuk menemukan pengasuh lainnya Cit !
Love
Atik
x x
Post a Comment